Rabu, 04 Desember 2013

PARADE MUKA-MUKA



"Lalu semua atribut pun dilayaktampilkan"

Layaknya sebuah kelayakan bila seseorang difoto haruslah mengulum senyum, bisa juga mengembangkannya, atau bahkan memaksakan kemampuan mulutnya mangap semangap-mangapnya, meski tentu saja dia tak akan mampu menyerupai mangapnya ular yang dapat mangap melebihi ukuran kepalanya.

Walhasil, semua pajangan muka-muka itu selalu dibuat menampilkan giginya, minimal membentuk mulut semacam perahu. Bahkan bila hasil jepretannya kurang memenuhi hasrat dan kehendak mata, maka ia akan mengulang kembali jepretannya sampai benar-benar layak dipandang mata.

Maka sorotkanlah mata dan telitilah dengan seksama pajangan-pajangan foto yang tersebar setiap saat baik di benda-benda kotak berkaca, atau di lembar-lembar yang terparkir di tembok dan tiang listrik, atau di kain-kain panjang di atas pohon melintangi jalanan di bawahnya, atau di kertas-kertas buram surat kabar.

Gerangan apa yang terpampang?, pastilah tiga hal yang diwajibkan.

Pertama, mangapnya mulut. Karena hal itu dipercaya sebagai tanda dan bukti persahabatan. Ia untuk anda dan anda diharapkan untuk dia.

Kedua, huruf-huruf bersingkat yang diletakkan baik di depan nama atau di belakang nama, atau bahkan pada dua-duanya untuk memperpanjang nama pemilik muka. Semakin panjang dan beragam huruf-huruf tersebut, maka makin dilayakkan ia untuk anda dan anda diharapkan untuk dia. Itulah gelar-gelar. Tanda bahwa sang pemilik muka memiliki kemampuan dan profesional. Makin berderet huruf-hurufnya makin berderet pula kemampuan yang ia berharap para pemandangnya memandang demikian.

Ketiga, kostum. Berupa peci, baju koko lengkap dengan selendang sorban. Itulah tanda kesalehan. Atau topi dan kaos. Maka itulah tanda ia muda dan sporty. Atau baju safari, dan bisa juga jas dan berdasi. Maka itulah tanda kewibawaan. Yang pasti semuanya tak akan bisa memungkiri bahwa semua kostum yang ia kenakan adalah tanda. Ya, sebatas tanda. Tidak lebih.

Senyum ramah, gelar-gelar dan kostum-kostum itu diyakini perlu. Bahkan sangat perlu. Sebab ketiganyalah yang diyakini mampu mengomunikasikan pemilik muka yang terpajang dengan para pemandangnya. Senyum adalah pembuka jalanan dan jalinan. Lalu gelar-gelar itu sebagai penutup dan penetap, bahwa sang pemilik muka dalam foto-foto itu telah menjadi layak untuk para pemandang, dan pemandangnya diharapkan layak untuknya. Dan terakhir adalah kostum. Pajangan haruslah lengkap, dari segi keramahan dan persahabatan, kemampuan dan keprofesionalan, dan juga akhlak dan ketakwaan.

Dan begitulah, hidup sekarang penuh dengan parade foto-foto. Ia dipajang sejatinya bukan karena ia dibutuhkan untuk dipajang. Ia berderet dipajangkan seakan yang layak dipandang di dunia ini hanya foto-foto mereka. Sebab itulah ia tidak dipajang di belantara hutan, atau dihanyutkan ke tengah lautan, atau dipuncakkan di atas pegunungan. Tidak. Dan sekali-kali tidak. Ia haruslah terpajang untuk terpandang. Karena ia harus berkenalan dan dikenalkan dengan para pemandang.

Namun apakah para pemandang cukup dengan pajangan?

Semoga pajangan-pajangan muka itu tak seperti buah semangka, hijau di luar namun merah di dalam.
Rindang hutan hijaulah warnanya, bila terbakar tampaklah merahnya.

"Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum." (Al Munafiquun : 4)

-----------
Fairuz Ahmad.

Bintara, 28 Syawal 1434 H./ 4 September 2013 M.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar