"Lalu semua atribut pun
dilayaktampilkan"
Layaknya sebuah kelayakan
bila seseorang difoto haruslah mengulum senyum, bisa juga mengembangkannya,
atau bahkan memaksakan kemampuan mulutnya mangap semangap-mangapnya, meski
tentu saja dia tak akan mampu menyerupai mangapnya ular yang dapat mangap
melebihi ukuran kepalanya.
Walhasil, semua pajangan muka-muka itu selalu
dibuat menampilkan giginya, minimal membentuk mulut semacam perahu. Bahkan bila
hasil jepretannya kurang memenuhi hasrat dan kehendak mata, maka ia akan
mengulang kembali jepretannya sampai benar-benar layak dipandang mata.
Maka sorotkanlah mata dan
telitilah dengan seksama pajangan-pajangan foto yang tersebar setiap saat baik
di benda-benda kotak berkaca, atau di lembar-lembar yang terparkir di tembok
dan tiang listrik, atau di kain-kain panjang di atas pohon melintangi jalanan
di bawahnya, atau di kertas-kertas buram surat
kabar.
Gerangan apa yang
terpampang?, pastilah tiga hal yang diwajibkan.
Pertama, mangapnya mulut. Karena hal itu dipercaya
sebagai tanda dan bukti persahabatan. Ia untuk anda dan anda diharapkan
untuk dia.
Kedua, huruf-huruf bersingkat
yang diletakkan baik di depan nama atau di belakang nama, atau bahkan pada dua-duanya untuk
memperpanjang nama pemilik muka. Semakin panjang dan beragam huruf-huruf
tersebut, maka makin dilayakkan ia untuk anda dan anda diharapkan untuk dia. Itulah
gelar-gelar. Tanda bahwa sang pemilik muka memiliki kemampuan dan profesional. Makin
berderet huruf-hurufnya makin berderet pula kemampuan yang ia berharap para
pemandangnya memandang demikian.
Ketiga, kostum. Berupa peci,
baju koko lengkap dengan selendang sorban. Itulah tanda kesalehan. Atau topi
dan kaos. Maka itulah tanda ia muda dan sporty. Atau baju safari, dan bisa juga
jas dan berdasi. Maka itulah tanda kewibawaan. Yang pasti semuanya tak akan bisa memungkiri bahwa semua kostum yang ia
kenakan adalah tanda. Ya, sebatas tanda. Tidak lebih.
Senyum ramah, gelar-gelar dan kostum-kostum itu
diyakini perlu. Bahkan sangat perlu. Sebab ketiganyalah yang diyakini mampu
mengomunikasikan pemilik muka yang terpajang dengan para pemandangnya. Senyum
adalah pembuka jalanan dan jalinan. Lalu gelar-gelar itu sebagai penutup dan
penetap, bahwa sang pemilik muka dalam foto-foto itu telah menjadi layak untuk
para pemandang, dan pemandangnya diharapkan layak untuknya. Dan terakhir adalah
kostum. Pajangan haruslah lengkap, dari segi keramahan dan persahabatan, kemampuan
dan keprofesionalan, dan juga akhlak dan ketakwaan.
Dan begitulah, hidup sekarang
penuh dengan parade foto-foto. Ia dipajang
sejatinya bukan karena ia dibutuhkan untuk dipajang. Ia berderet dipajangkan
seakan yang layak dipandang di dunia ini hanya foto-foto mereka. Sebab itulah
ia tidak dipajang di belantara hutan, atau dihanyutkan ke tengah lautan, atau
dipuncakkan di atas pegunungan. Tidak. Dan sekali-kali tidak. Ia haruslah terpajang
untuk terpandang. Karena ia harus berkenalan dan dikenalkan dengan para
pemandang.
Namun apakah para pemandang
cukup dengan pajangan?
Semoga pajangan-pajangan muka
itu tak seperti buah semangka, hijau di luar namun merah di dalam.
Rindang hutan hijaulah
warnanya, bila terbakar tampaklah merahnya.
"Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh
mereka menjadikan kamu kagum." (Al Munafiquun : 4)
-----------
Fairuz Ahmad.
Bintara, 28 Syawal 1434 H./ 4
September 2013 M.