Rabu, 04 Desember 2013

REJEKI SETARA SURGA



Saat naik bus Trans Jakarta, ada dialog dua orang mahasiswa sebuah perguruan tinggi. Dialog yang penuh semangat itu menandakan bahwa topik dialognya pastilah sesuatu yang sangat menarik. Ya, mereka sedang membahas sebuah jalan menuju kesuksesan. Dan jalan yang dibicarakan itu adalah bekerja setelah lulus kuliah.
Di lain waktu, seorang ibu rumah tangga bercerita
dengan penuh semangat tentang anaknya yang sudah diterima oleh perusahaan pemerintah meski ia baru lulus dari bangku SMA.
Lalu ada juga seorang bapak yang sangat bangga dengan pekerjaan anak-anaknya. Di antara anaknya ada yang baru bekerja di Perusahaan Asing dan sudah diangkat sebagai Kepala Divisi. Semua cerita nyata yang penuh dengan gelora jiwa. Sebab, kadang antusiasme ada pada saat bercerita. Dan semua cerita nyata di atas berujung pada satu kata yaitu rejeki.
Rejeki, ia adalah suatu kata yang senantiasa memompa semangat jiwa dan motivasi diri saat diungkapkan dengan kata-kata. Sebab ia adalah harapan untuk keberlangsungan hidup. Dan semua makhluk-NYA sepakat atas hal itu bila yang dimaksud rejeki disini adalah sumber makanan.
Tak kurang perhatian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam urusan rejeki ini. Barbagai situasi antara beliau dan para sahabatnya pun banyak terkait dengan masalah rejeki. Simaklah beberapa penggalan nasehatnya yang sangat menggugah jiwa, sebab siapa saja yang menginginkan kemuliaan diri dan keluarganya pastilah ia akan tergugah:
Suatu hari beliau sedang berbincang-bincang dengan para sahabatnya, di antara mereka ada sahabat mulia bernama Abdullah bin Zubair bin Awwam. Beliau bersabda kepada mereka:
"Sungguh bila ada seseorang dari kalian yang mengambil tali-talinya, lalu ia pergi ke gunung kemudian ia datang dengan membawa seikat kayu bakar di atas punggungnya, lantas ia jual, dan dengan sebab itu Allah hilangkankan rasa malu pada mukanya, niscaya itu lebih baik baginya daripada meminta-minta pada manusia, mereka memberinya atau menolaknya."[HR. Bukhari]
Di saat yang lain, beliau ingin menegaskan pada mereka tentang pentingnya bekerja, sehingga beliau pun mencontohkan kisah-kisah Nabi sebelum beliau yang juga mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya dengan bekerja. Beliau berkata:
"Dahulu Nabi Dawud alaihis salam tidak makan kecuali dari hasil kerja tangannya." [HR. Bukhari]
Dan beliau nyatakan kembali tentang kemuliaan Nabi Dawud ini:
"Tidaklah seseorang makan makanan yang lebih baik dari seorang yang makan dari hasil kerjanya sendiri, dan sungguh Nabi Dawud alaihis salam dahulu makan dari hasil kerja tangannya sendiri." [HR. Bukhari]
Beliau juga bercerita tentang Nabi Zakaria alaihis salam yang bekerja sebagai tukang kayu:
"Dahulu Nabi Zakaria alaihis salam adalah seorang tukang kayu."[HR. Muslim]
Alangkah mulia saat orang mau bekerja. Karena bekerja akan memuliakan pelakunya. Ia juga akan menghilangkan rasa malu oleh sebab pelakunya dapat terbebas dari meminta-minta.
Tapi bukanlah Nabi bila kemudian tidak sanggup melihat kondisi umatnya kelak di masa yang akan datang. Masa dimana ada kecenderungan mereka terhadap rejeki yang melimpah. Masa yang dipenuhi oleh orang-orang yang hanya ingin memiliki dan memiliki rejeki. Masa yang diisyaratkan oleh beliau kepada sahabat Hakim bin Hizam radhiyallahu anhu bahwa ada di antara umatnya nanti yang mengambil harta sedang ia tidak tamak sehingga ia diberikan keberkahan, dan ada juga yang mengambilnya dengan tamak sehingga hilang keberkahannya.
Dari Hakim bin Hizam radhiyallahu anhu ia berkata:
"Aku meminta sesuatu pada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam maka beliau memberiku. Lalu aku meminta lagi dan beliau memberiku. Lalu aku meminta lagi dan beliau memberiku, selanjutnya beliau berkata:
"Wahai Hakim, sesungguhnya harta itu sesuatu yang dicintai dan manis. Maka barangsiapa yang mengambilnya dengan kelapangan jiwa niscaya ia diberkahi. Dan barangsiapa yang mengambilnya dengan tamak niscaya tidak ada berkah baginya, perumpamaannya seperti orang yang makan tapi tidak pernah kenyang."[Muttafaq alaih]
Dan nubuwwat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam pun mempelihatkan kenyataannya. Bahwa masa yang selalu diingatkannya pada sahabat itu telah terjadi pada kita. Betapa isyarat tentang orang-orang yang tamak pada rejeki harta itu sudah nampak nyata. Tak ada waktu dan kesempatan kecuali telah habis sampai detik-detiknya hanya untuk bicara rejeki harta. Seakan rejeki hanya berupa harta. Sehingga, meski ia telah halal untuk dicari, namun terkadang ia dapat membuat diri menjadi lupa.
Selanjutnya, maukah kita mendapatkan rejeki yang setara surga? Bila berkenan, maka simaklah nasehatnya dalam do'a yang diajarkannya kepada kita. Do'a yang tak boleh dilupa, sebab Allah akan mengalirkan rejeki-NYA kepada kita di dunia, lalu bersambung kelak di surga-NYA
Allahumma arinal haqqa haqqan warzuqnat tibaa'ahu, wa arinal bathila bathilan warzuqnajtinaabahu…
Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami bahwa yang benar itu benar dan berikanlah kepada kami rejeki mengikutinya.
Dan tunjukkanlah kepada kami bahwa yang batil itu batil dan berikanlah kepada kami rejeki menjauhinya.
Ternyata mengikuti kebenaran adalah rejeki, dan menjauhi kebatilan adalah rejeki. Dan dua rejeki inilah yang Allah berikan di dunia bagi siapa saja yang ikhlas memintanya, lalu diberikan juga bonusnya berupa kenikmatan di surga.
Sebab, tidak ada yang dapat menyelamatkan kita di akherat kecuali bila Allah telah berkenan memberikan kita dua rejeki itu di dunia. Bila kita tidak mendapat dua rejeki itu di dunia, maka jangan berharap kita dapat mencium wanginya taman Firdaus di kampung akhirat bernama surga.
Fairuz Ahmad.
Bintara, Ahad 5 Jumadil Ula 1434 H./ 17 Maret 2013 M.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar