Pernahkah
kita mengamati lembaran-lembaran buku yang kita baca. Bahwa ada ruang kosong
sebagai jarak antara tulisan dengan pinggiran halaman. Lalu coba bayangkan bila
kita dihadapkan pada lembaran halaman yang semuanya berisi tulisan. Tanpa ada
ruang kosongnya. Maka apa yang kita rasakan?
Baru melihatnya pun sudah ada kesan berat untuk memulai membacanya. Kalau pun sudah sedikit dibaca, maka itu pun sebuah awal yang perlu perjuangan yang berat, apalagi jika ternyata semua halamannya sama, tanpa ruang kosong, tanpa jeda, dan bukunya pun tebal.
Baru melihatnya pun sudah ada kesan berat untuk memulai membacanya. Kalau pun sudah sedikit dibaca, maka itu pun sebuah awal yang perlu perjuangan yang berat, apalagi jika ternyata semua halamannya sama, tanpa ruang kosong, tanpa jeda, dan bukunya pun tebal.
Namun
sesungguhnya persoalan bukanlah pada ketebalan buku. Justru persoalannya lebih kepada model yang
berbeda pada halaman buku tersebut. Tidak seperti layaknya buku-buku yang ada.
Dan karena modelnya yang "aneh" inilah maka ia menjadi sebab orang
merasa berat untuk membacanya. Bahkan saat baru melihatnya, minimal malas untuk
memulai membacanya.
Bahwa model buku seperti itu
tidak akan laku di pasaran, karena pembaca umumnya juga merasa tertarik dengan
model buku yang umumnya mereka temukan. Minimal sebagai penerbit buku, ia juga
perlu menarik pembaca agar membeli bukunya. Dan salah satunya adalah dengan
membuat format dan model buku yang menarik seperti umumnya buku-buku yang ada,
yaitu dengan memberikan ruang kosong antara tulisan dan pinggiran halaman.
Bagi pembaca yang baik dan
kritis, kadang ruang kosong itu akan dimanfaatkan untuk menulis ide-ide baru
yang muncul. Tanggapan terhadap penggalan kalimat yang ia baca. Tambahan dan
penguat yang tidak tertulis di buku, bahkan mungkin bantahan dan cacian, tapi
yang terakhir bukanlah model pembaca yang baik.
Sungguh kehidupan kita tak jauh
berbeda dengan model buku. Umumnya kita tidak ada yang mau menjalani kehidupan
seperti halnya buku yang tanpa ada ruang kosongnya, Karena ruang kosong berarti
jeda. Ruang kosong berarti istirahat sejenak. Dan ruang kosong berarti tibanya
saat untuk mengumpulkan ide dan energi baru untuk memulai kembali membaca
kehidupan yang kadang terasa rumit dan berkepanjangan.
Ya, tidak akan ada orang yang
mau menjalani kehidupannya tanpa ada istirahat. Tanpa ada sedikit waktu
untuk sekedar merasakan kenikmatan yang telah dikaruniakan Allah kepadanya. Kalaupun
ada, maka itu sebuah hal yang tidak biasa, atau mungkin karena ia terpaksa
menjalaninya.
Lihatlah saat Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam melarang sahabatnya agar tidak melakukan shalat
sepanjang malam, tidak melakukan puasa sepanjang hari, dan juga tidak boleh
untuk tidak menikah.[1] Atau bagaimana nasehat bijak beliau saat ditanya oleh
seorang sahabatnya yang merasa semangat beribadah bila didekat Nabi namun
merasa malas saat berada di dekat anak istri. Beliau pun menjawab
bahwa hal itu sudah lumrah, saat-saat tertentu boleh namun jangan sampai
keterusan[2].
Lihatlah
juga saat beliau mengisi lembar kehidupannya yang mulia. Bagaimana beliau bercanda dengan
istri-istrinya. Mengajak Aisyah radhiyallahu anha jalan malam untuk
bercakap-cakap[3], lalu lomba lari dengannya[4], dan bahkan pernah pula beliau
menyediakan waktunya sejenak karena ada gadis kecil yang menarik tangan beliau
yang mulia kemudian beliau dituntun untuk berjalan-jalan.[5]
Ternyata semua ada waktunya.
Kapan berjihad, kapan shalat, kapan berpuasa, kapan beristirahat dan bercanda
dengan keluarga. Karena yang tidak boleh adalah bila semua hal itu
dilakukan kapan-kapan.
Namun seperti halnya pembaca
yang baik, ruang kosong tidak akan dipandang sebagai ruang kosong. Ia adalah ruang
tempat ia mengerjakan sesuatu yang lain selain dan setelah membaca. Ia tidak
lantas tidur dan benar-benar istirahat setelah membaca, sebagaimana ia juga
tidak hanya sekedar membaca saat ia membaca.
Bahwa ternyata ada beberapa
manusia yang menjalani kehidupannya seakan-akan seperti sebuah buku tanpa ruang
kosong. Semua halaman penuh tulisan. Tak ada jeda dan tak ada istirahat. Karena
baginya, istirahat adalah kematian. Ia tidak menamakannya ruang kosong karena
ia membutuhkan ruang kosong itu. Maka ia pun mengisi seluruh waktunya sepenuh
halaman yang tersedia untuknya. Istirahatnya adalah bekerja, istirahatnya
adalah ibadah.
Simaklah
cerita tentang Imam Al-Muhaddits Hammad bin Salamah Al-Bashri, muridnya yang
bernama Musa bin Ismail At-Tabudzaki berkata bahwa gurunya itu hanya membagi
waktunya untuk meriwayatkan hadits, membaca buku, bertasbih dan shalat,
sampai-sampai muridnya yang lain, yaitu Yunus Al-Mu'addib mengisahkan bahwa
gurunya tersebut meninggal dalam keadaan sedang shalat.[6]
Atau cerita tetang Imam
An-Nawawi yang seluruh waktunya habis untuk belajar dan mengajar. Beliau pernah
bercerita, bahwa selama tinggal di Damaskus untuk belajar, ia tidak pernah
meletakkan lambungnya di lantai alias tidak tidur, sehingga saat beliau sudah
ditetapkan sebagai Ulama pada masanya, beliau selalu menghabiskan waktunya
untuk mengajar dan menulis. Beliau pun tidak menikah. Bukan karena beliau tidak
mau, namun belau
berkata :
"Mana ada wanita yang mau hidup bersama saya",
karena waktu beliau habis untuk
menulis, sampai-sampai bila tulisannya dihitung dan dibagi dengan umur beliau,
maka minimal setiap harinya beliau menulis sebanyak 16 halaman.[7]
Ada juga seorang Ulama di bidang ilmu Falak dan
Matematika, juga ahli sejarah, bahasa dan sastra, yaitu Muhammad bin Ahmad
Al-Khawarizmi yang juga dikenal dengan sebutan Abu Ar-Raihan Al-Biruni (440
H.)-rahimahullah-, dikisahkan oleh Yaqut Al-Himawi dalam Mu'jamul Udabaa',
bahwa tangan beliau hampir tidak pernah lepas dari pena, matanya selalu
membaca, dan hatinya selalu berpikir.[8]
Selanjutnya kita dengarkan apa
kata Imam Abul Ma'ali Abdul Malik bin Abdullah Al-Juwaini (478 H.) yang dikenal
dengan sebutan Imamul Haramain, gurunya Imam Al-Ghazali. Beliau berkata :
"Aku tidak terbiasa tidur dan makan, kalau aku sudah
diserang kantuk berat baru aku tidur, bisa di malam hari atau siang hari, demikian
juga dengan makan, aku tidak akan makan kecuali kalau aku sudah ingin makan.[9]
Bahkan di antara mereka ada
yang sangat berat hati bila harus menyediakan waktunya untuk makan, dan itulah
cerita Imam Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi Al-Bashri saat mengatakan :
"Saat-saat paling berat bagiku
adalah saat dimana aku harus makan".[10]
Akhirnya, ruang kosong adalah
sebuah kenikmatan. Ia ibarat anugerah waktu dan kesempatan yang dilebihkan
buat kita. Tak ada salahnya saat ia digunakan untuk istirahat sejenak.
Pekerjaan-pekerjaan berharga memang tak selamanya dilakukan tanpa henti. Kadang
ia perlu berhenti sejenak agar dapat berlanjut kembali, meski dalam sejarahnya,
ada di antara manusia-manusia yang melihat pekerjaannya jauh lebih berharga
dari diri maupun nyawanya. Mereka pun lantas enggan untuk menemui kematiannya
sedang mereka dalam keadaan istirahat.
Dan, bila pekerjaan-pekerjaan
berharga saja boleh berhenti sejenak, maka bagaimana dengan manusia-manusia
yang pekerjaannya adalah dosa dan maksiat…?
-----------------
Fairuz Ahmad.
Bintara, selesai menjelang
maghrib 7 Rabi'ul Awwal 1434 H./ 19 Januari 2013 M.
-----------------
[1] Lihat matan asli di Shahih
Muslim dari Anas bin Malik no.1401.
[2] Lihat matan asli di Shahih Muslim dari Handzalah Al-Usaidy
no.2750.
[3] Lihat matan asli di Shahih Muslim dari A'isyah no. 4477.
[4] Lihat matan asli di Musnad Imam Ahmad 26277, Sunan Abu Dawud
2578, Sunan An-Nasa'i 8942, Sunan Ibnu Hibban 4691.
[5] Lihat matan asli di Shahih
Bukhari dari Anas bin Malik no. 5724.
[6] Qimatuz Zaman Indal Ulama DR. Abdul Fattah Abu Ghuddah.
[7] Tarjamah An-Nawawi Lil Imam As-Sakhawi.
[8] Mu'jamul Udaba' oleh Yaqut Al-Himawy.
[9] Qimatuz Zaman Indal Ulama DR. Abdul Fattah Abu Ghuddah.
[10] Qimatuz Zaman Indal Ulama DR. Abdul Fattah Abu Ghuddah.