JANGAN BICARA KEMATIAN
Kematian bagi sebagian masyarakat kita bukanlah sesuatu yang menarik
untuk dibicarakan. Kesemangatan hidup seakan lenyap bila sudah membicarakan
kematian. Bahkan mendengarkannya pun kadang sebagai sebuah hantaman musibah
yang akan segera menimpa. Maka tidaklah heran bila kemudian mereka tidak
bersemangat saat membicarakan kematian.
Bagi bapak-bapaknya, berbicara tentang kasus-kasus politik yang didapat
dari media jauh lebih menggairahkan. Sedang kaum ibunya, ngobrol tentang
kenaikan harga-harga barang di tukang sayuran jauh lebih menyegarkan, apalagi
bila pembicaraan mereka sudah berlanjut pada rempah-rempah sebagai bumbu-bumbu.
Ada bumbu
penyedap fitnah, bumbu pewarna ghibah, dan juga bumbu perasa adu domba. Yang
pasti, bagi mereka bumbu masakan haruslah komplit. Lain lagi dengan anak
mudanya, bicara tentang derbi El-Clasico, Della Madonnina, atau duo Manchester akan jauh
membuat hidup mereka lebih hidup. Demikian juga dengan remajanya, bicara
tentang K-Pop dan artis-artis Korea
telah membuat mereka lari dari dunia nyatanya. Kadang mereka telah lupa, bahwa
kulit coklat tak mungkin diputihkan sebagaimana mata lebar tak mungkin
disipitkan.
Akhirnya, sebagian waktu mereka telah habis untuk hal-hal yang tidak
sedikitpun memberikan manfaat bagi kehidupannya. Hal itu mereka lakukan, sekali
lagi demi lari dari kenyataan, bahwa hidup akan segera diakhiri oleh kematian.
Alangkah jitunya saat ayat Al-Qur'an menggambarkan tentang pelarian ini
:
"Katakanlah:
"Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya
kematian itu akan menemui kamu."[1]
Bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala juga bercerita tentang orang-orang yang
sampai bersembunyi dari kematian ke tempat-tempat yang menurut mereka tak akan
diketahui oleh Malaikat pencabut nyawa :
"Dimanapun kamu berada,
niscaya kematian akan menemuimu sekalipun kamu berlindung dibalik tembok yang
tinggi dan kokoh"[2]
Bila kita cermati, ada beberapa aktivitas masyarakat terkait musibah
kematian yang layak untuk dibicarakan sebagai bahan pelajaran dan nasehat bagi
kita, di antaranya adalah :
Setiap ada berita kematian tetangga, maka di antara bentuk kewajiban
bertetangga kita adalah melakukan ta'ziyah, yaitu datang memberikan do'a
kesabaran bagi keluarga yang ditinggalkan dan menghibur rasa dukanya sekaligus
menunaikan hak-hak mayit.
Namun ada satu hal yang seakan sudah menjadi kebiasaan di masyarakat
kita, yaitu duduk-duduk lama hanya sekedar mengobrol dan tertawa tentang
hal-hal yang tidak penting.
Pada dasarnya duduk saat hadir di rumah duka adalah salah satu bentuk
ta'ziyah yang disunnahkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
sebagaimana saat beliau bersedih atas kematian Zaid bin Haritsah, Ja'far bin
Abu Thalib dan Abdullah bin Rawahah dalam perang Mu'tah tahun 8 Hijriyah,
selanjutnya beliau duduk menerima kehadiran para sahabat yang datang
berta'ziyah di rumah Ja'far, namun duduknya beliau bukanlah dalam rangka supaya
orang-orang datang ke tempat itu.[3]
Saat datang kabar tentang kematian Ja'far, beliau berkata :
"Buatkanlah makanan untuk
keluarga Ja'far, karena telah sampai kepada mereka hal yang membuat mereka
sibuk."[4]
Imam Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa membuatkan makanan buat keluarga
mayit adalah mustahabbah (dianjurkan). Namun beliau memberikan catatan bahwa
membuatkan makanan tersebut atas dasar kerelaan hati si pembuat makanan dan
juga sebagai balasan kebaikan yang serupa yang telah diperbuat mayit. Kita pun
diperbolehkan untuk sekedar memakannya sedikit bila dilihat ada kemaslahatan
yang didapat seperti mempererat hubungan hati atau ta'liful qulub.[5] Imam
Nawawy dalam Al-Majmu' juga mengatakan boleh.[6]
Namun bila keluarga mayit sendiri yang membuat makanan untuk para tamu
dan mengundang mereka untuk makan-makan di rumahnya maka hal itu tidak boleh,
sebagaimana dikatakan Imam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu' Fatawa[7] sesuai dengan
apa yang dikatakan oleh Jarir bin Abdullah Al-Bajaly :
"Dahulu (pada masa Nabi)
kami menganggap kumpul-kumpul di rumah keluarga mayit dan juga keluarga mayit
yang membuat makanan untuk orang-orang setelah menguburnya adalah bagian dari
niyahah (meratapi mayit yang ada pada masa Jahiliyyah)"[8]
Sebenarnya yang sedikit menjadi masalah adalah pada duduk-duduknya yang
kemudian dipakai untuk mengobrol segala macam yang kebanyakan kurang
bermanfaat. Sebuah kebiasaan yang harus segera diperbaiki. Bahwa waktu tetaplah
waktu yang senantiasa berjalan terus tanpa bisa berhenti apalagi mundur
kembali. Tak sepatutnya seorang muslim menghabiskan waktunya hanya untuk
mengobrol dan tertawa. Sungguh melakukan ta'ziyah mendatangkan pahala, maka
janganlah ia dirusak dengan banyak bicara dan tertawa.
-----bersambung
(Knalpot-knalpot Kecil, Pelayat Berkostum Hitam-hitam, Stasiun TV Al-Khurafaat,
Prosedur Pengiriman Jenazah)
Fairuz Ahmad.
Cerita Perjalanan dari Bintara ke Wanaraja, 14-15 Rabi'ul Akhir 1434
H./25-26 Februari 2013 M.
Selesai ditulis hari kamis, 24 Rabi'ul Akhir 1434 H./7 Maret 2013 M.
----------
Catatan :
[1] Al-Jumu'ah : 8.
[2] An-Nisa : 78.
[3] Lihat penjelasan yang panjang
lebar dalam masalah ini pada kitab fiqih mazhab Syafi'i di Nihayatul Muhtaj Ila
Syarhil Minhaj, Kitabul Jana'iz Bab At-Ta'ziyah oleh Muhammad bin Syihabuddin
Ar-Ramly, Darul Fikri Cet.1404 H./1984 M.
[4]
- Sunan Ad-Daruquthny 1826 dan 1855.
- Musnad Imam Ahmad 1687.
- As-Sunanul Kubra Imam Baihaqi 6943.
- As-Sunanus Shaghir Imam Baihaqi 534.
- Sunan Ibnu Majah 1599.
- Syarhus Sunnah Imam Al-Baghawy 1546.
- Al-Mustadrak Alas Shahihain Imam Al-Hakim 1309.
- Al-Bahruz Zakhkhar Al-Ma'ruf Bi Musnad Al-Bazzar oleh Imam Abu Bakar Ahmad bin Amr bin Abdul Khaliq Al-Atky Al-Bazzar, Maktabatul Ulum wal Hikam, Cet.1424 H./2003 M. No. Hadits 2245.
- Mirqatul Mafatih Syarhu Misykatil Mashabih, Kitabul Jana'iz, Bab Al-Buka'u Alal Mayyit Imam Ali Bin Sulthan Muhammad Al-Qary, Darul Fikri Cet.1422 H./2002 M.
[5] Majmu' Fatawa Ibnu
Taimiyyah, Fiqih, Kitabul Jana'iz, Bab Ziyaratul Qubur, Mas'alatu Ma
Yata'allaqu Bit Ta'ziyah, Cet.1416 H./1995 M.
[6] Al-Majmu' Syarhul
Muhadzdzab Imam Nawawy, Kitab Az-Zakat.
[7] Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyyah,
Fiqih, Kitabul Jana'iz, Bab Ma Yanfa'ul Mayyit
Wa Ma La Yanfa'uhu, Al-Qira'ah
Alal Qabri, Cet.1416 H./1995 M.
[8] Musnad Imam Ahmad 6866.