Segala displin ilmu dalam Islam baik pokoknya maupun cabangnya bertumpu
pada satu ilmu yaitu ilmu hadits yang dikenal dengan ilmu mushtholah hadits
yang padanya dipelajari matan dan sanad. Seakan tak ada habisnya, hingga kini
ilmu ini masih terus mengalami perkembangan, meskipun tidak dalam masalah
pokok-pokonya. Sebab ia telah dibangun sempurna oleh para ulama terdahulu.
Perkembangan itu lebih kepada penemuan-penemuan bukti baru
untuk mentarjih status-status hadits yang telah lama menjadi perbincangan ulama seputar masalah-masalah furu', dan bukan masalah-masalah ushuluddin.
untuk mentarjih status-status hadits yang telah lama menjadi perbincangan ulama seputar masalah-masalah furu', dan bukan masalah-masalah ushuluddin.
Oleh karena ilmu hadits yang begitu vital dalam agama Islam, maka
tidaklah mengherankan bila perhatian terhadap ilmu tersebut sangatlah kuat,
terutama bagi mereka yang menginginkan terbebasnya ibadah-ibadah mereka dari
kesalahan dasar pijakan. Juga bagi mereka yang antusias terhadap kisah-kisah
para ulama salafusshaleh hingga ingin meneladani kehidupan mereka yang penuh
dengan keilmuan, kewara'an dan ketawadhu'an.
Namun bukan berarti tidak ada godaan setan bila sudah memiliki ilmu ini,
atau bagi yang sedang menuntutnya. Justru
karena ia ilmu paling vital maka setan pun paling antusias dalam melancarkan
serangannya. Animonya sangat tinggi. Seakan tiap detiknya ia menjebak para
penuntut dan pemilik ilmu ini. Sebab setan sangat tahu, bila ada suatu kebaikan
yang sangat vital, pasti padanya ada celah yang juga sangat vital.
Lalu celah sangat vital apakah yang ada pada penuntut dan pemilik ilmu
vital ini?
Bagi para penuntut dan pemilik ilmu hadits tentunya sangat faham bahwa
ilmu ini menjadikan mereka memiliki kaidah untuk mengetahui dengannya derajat
hadits melalui penilaian para perawinya. Diterima dan ditolaknya sebuah hadits
tergantung pada diterima atau ditolaknya sang perawi hadits. Oleh karena itulah
ada bab al jarhu wat ta'dil, yaitu penilaian buruk dan penilaian baik terhadap
perawi. Jika kredibilitas sang perawi ada cacatnya maka ia akan tertolak,
sebaliknya bila kredibilitasnya banyak mendapat pujian maka ia akan diterima.
Tentunya penilaian tersebut bersumber dari ulama yang berkompeten di bidangnya.
Dan bukan ulama sembarangan, apalagi
ulama karbitan alias jadi-jadian.
Oleh karena konsentrasi dan fokus bab al jarhu wat ta'dil adalah
penilaian terhadap seseorang yaitu perawi, maka setan pun masuk melalui pintu
ini. Kaidah ilmu al jarhu wat ta'dil akhirnya menjebak para pemilik dan
penuntutnya untuk menilai semua orang, perawi hadits atau pun bukan, sedang
golongan orang yang bukan perawi sangatlah banyak. Ia bisa saudara, bisa tetangga, bisa kawan, bisa
sahabat, bisa ulama, bisa ustadz, dan bisa siapa saja. Sebab menilai orang pada
dasarnya bisa disematkan kepada siapa saja yang penting orang.
Walhasil, jebakan setan pada ilmu al jarhu wat ta'dil begitu membahayakan.
Sebab terkadang orang yang mempelajari ilmu ini merasa telah mendapatkan
kapasitasnya untuk memberikan penilaian terhadap siapa saja. Perawi hadits
maupun bukan.
Oleh karena itulah para ulama terdahulu yang pakar dalam bidang ini
telah mengingatkan kita dengan meletakkan dhawabith atau patokan-patokan yang
dengannya seseorang berhak melakukan al jarhu wat ta'dil.
Syeikh Dr. As Syarif bin Hatim Al 'Auniy dalam bukunya Khulashatut
Ta'shiil Li 'Ilmi Al Jarh wat Ta'diil halaman 23 telah mengutip pandangan Imam
Adz Dzahabi dalam kitabnya Al Muuqidhah Fi 'Ilmi Mushthalahil Hadits yang
mengatakan,
"Pembicaraan mengenai
kredibilitas para perawi membutuhkan kesempurnaan sikap wara', berlepas diri
dari hawa nafsu dan kecenderungan, dan juga keahlian yang sempurna akan hadits,
ilmu 'ilal dan rijaal."
Dan orang-orang yang masuk
dalam kategori ini bisa diidentifikasi melalui beberapa hal, di antaranya:
- Kitab-kitab yang berbicara tentang mereka seperti,
- Dzikru Man Yu'tamad Qauluhu Fil Jarhi wat Ta'diil oleh Imam Adz Dzahabi.
- Al Mutakallimuun Fir Rijaal oleh Imam As Sakhawiy.
- Al Muzakkuun Li Ruwaatil Akhbaar 'Inda Ibni Abi Hatim oleh Hisyam bin Abdul Aziz Al Hallaf.
- Terjemah biografi rawi yang berisikan gambaran akan hafalannya, kedudukannya, dan kritik terhadapnya.
Dan begitulah nyatanya, bahwa ilmu sanad bukanlah ilmu sembarangan. Maka
bagi siapa saja yang mempelajari ilmu yang mulia ini hendaknya waspada dari
jebakan setan agar tidak menggunakannya dengan sembarangan, yaitu sembarangan
menilai orang. Terlebih berbangga diri telah merasa tahu dan memiliki ilmu yang
berdiri di atasnya ilmu-ilmu.
Fairuz Ahmad.
Bintara, 15 Muharram 1435 H./19 Nopember 2013 M.