Dahulu ada seorang dosen bahasa dari Mesir, dan saat pelajaran bahasa
Arab, beliau bercanda bahwa dalam bahasa Arab ada sedikit
"diskriminasi" terhadap kaum wanita. Dalam kaidah bahasa Arab, semua
kata benda mudzakkar[1] yang tidak berakal bila dijadikan bentuk jamak atau
plural maka ia berubah menjadi mu'annats. Beliau berkata:
Ternyata candaan beliau tersebut ditanggapi serius oleh beberapa teman
yang memiliki cara berpikir sedikit bebas dan seakan-akan pembela HAM yang
mengusung tuntutan kesetaraan gender.
Tapi lihatlah sekarang perkembangan pemikiran yang semakin membebaskan
segala-galanya. Tak ada lagi rasa tunduk di hadapan Al-Qur'an. Dan akibatnya,
mereka kehilangan rasa takut lalu berubah menjadi sangat berani terhadapnya. Berikutnya
mereka menjadikan Al-Qur'an laksana karet. Yang sekiranya dianggap tidak
humanis dan diskriminatif terhadap hak-hak wanita maka akan dilakukan penafsiran
baru. Mereka telah menahbiskan dirinya sebagai mufassir-mufassir abad mutakhir.
Maka lihatlah cara berpikir para mufassir abad mutakhir ini dan dengarkanlah
cercauannya yang mampu membuat sebagian orang awam menjadi tersihir, mereka
berkata:
Dalam Al-Qur'an, ada banyak ayat-ayatnya yang diskriminatif terhadap
kaum wanita, maka dari itu, kami merasa perlu untuk melakukan penafsiran baru
atas ayat-ayat tersebut, karena kalau tidak maka ayat-ayat itu akan menjadi
tidak humanis.
Agama Islam lewat Al-Qur'an dan Haditsnya telah melakukan tindakan
diskriminatif saat menyatakan bahwa kendali rumah tangga ada di tangan
laki-laki. Hukum asal talak dan ruju' harus ada di tangan laki-laki. Dalam urusan
mencari nafkah pun hukum asalnya ada pada laki-laki. Kemudian bila seorang
istri ingin keluar rumah, maka ia wajib mendapat ijin dari suaminya. Saat
bepergian maka harus didampingi oleh mahramnya. Dalam masalah pembagian warisan
pun wanita hanya mendapatkan satu bagian sedangkan laki-laki dua bagian. Lalu
saat akan menikah, maka laki-lakilah yang datang ke rumah calon istrinya
seakan-akan ia berhak untuk memilih-milih siapa yang paling pantas jadi
pendamping hidupnya. Dan saat sudah menikah maka sang laki-laki tercatat dalam
Al-Qur'an boleh untuk memukul istrinya. Bahkan lihatlah sang Nabi saat
menegaskan:
"Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada
orang lain, sungguh aku akan perintahkan kepada semua wanita untuk bersujud
kepada suami-suaminya."[2]
"Tidaklah seorang mukmin mendapat anugerah yang lebih baik setelah
takwa kepada Allah kecuali berupa istri shalihah, bila suami menyuruhnya maka
ia taat padanya, bila suami melihatnya maka ia menyenangkan hatinya, bila suami
bersumpah agar istrinya bertindak sesuatu maka ia menurutinya, dan bila suami tidak
ada di sampingnya maka ia menjaga dirinya dan harta suaminya."[3]
Walhasil, alangkah
superiornya laki-laki di hadapan wanita. Dan itu ada dalam kandungan
agama Islam.
Begitulah para mufassir abad mutakhir mencoba mencari "sumber-sumber
penghidupan", selanjutnya mereka memiliki "pekerjaan" untuk
memulai proyek besar berupa penafsiran baru atas Al-Qur'an dan Hadits yang
mulia.
Mereka ingin mengatakan bahwa Al-Qur'an dan Sunnah yang mulia tak lagi
sesuai dengan tuntutan zaman. Tak seharusnya cara beragama dalam Islam diatur
oleh aturan-aturan yang sudah usang. Ia telah lapuk dan tak bisa berkembang. Oleh
sebab itu ia perlu ditafsir ulang.
Maka lihatlah contoh tafsir mutakhir penuh racun itu ada dalam peran
"Bos Romlah" dalam tayangan sinetron "Tukang Bubur Naik
Haji". Ia yang memutuskan menikah dan bercerai. Ia yang memiliki kuasa
atas harta, karena ia yang bekerja mencari nafkah. Ya, sudah seharusnya setiap
wanita "muslimah" layaknya seorang Bos Romlah. Punya harta lalu
berkuasa. Menjadi janda pun tak jadi masalah. Sebab yang bermasalah adalah bila
ia bersuamikan laki-laki yang memegang kendali rumah tangganya dan kendali
dalam urusan cerai dan ruju'nya, bermasalah bila ia harus ijin suaminya saat
hendak keluar rumah, bermasalah saat bagian warisannya lebih kecil dari
laki-laki, bermasalah saat ia tidak bisa bebas memilih-milih calon suaminya,
dan bermasalah bila ia tak dapat hak untuk memukul suaminya, dan bermasalah
saat hanya ia saja yang seakan-akan dituntut untuk taat dan menyenangkan di
hadapan suaminya.
Kini saatnya mereka hendak tampil
menyelamatkan wanita, tentunya melalui tafsir barunya. Tak boleh lagi
ada ajaran diskriminatif atas kaum hawa. Selanjutnya mereka merasa perlu untuk
merayakan keberhasilannya mengangkat derajat dan martabat kaum wanita. Mereka
menyebutnya dengan Hari Ibu, dan ibu yang baik adalah ibu yang ada dalam tafsir
mutakhir mereka.
Sungguh mereka telah lupa, dan boleh jadi telah buta. Bahwa Islam telah
mendahului mereka memuliakan kaum wanita. Lihatlah saat Abu Hurairah radhiyallahu
anhu bercerita bahwa ada seorang sahabat datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan berkata:
"Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk aku
pergauli dengan baik?"
Rasulullah menjawab : "Ibumu."
"Lalu siapa lagi?"
"Ibumu."
"Lalu siapa lagi?"
"Ibumu."
"Lalu siapa lagi?"
"Ayahmu."[4]
Inilah dia kalimat yang terkandung di dalamnya mukjizat. Dan mukjizat
Nabi dalam kalimat-kalimatnya disebut mukjizat Jawami'ul Kalim. Sangat tidak
mungkin bila Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam asal mengucapkan kata ibu
lalu mendahulukannya daripada ayah. Bahkan beliau mengulangnya sampai tiga kali
sebelum menyebut kata ayah.
Bukankah laki-laki yang baik berasal dari ibu yang baik?. Bukankah laki-laki yang bisa memuliakan wanita berasal
dari rahim seorang wanita? Dan juga sebaliknya, laki-laki durjana yang
melecehkan harkat dan martabat wanita juga berasal dari rahim seorang wanita?
Ketahuilah, bahwa tak ada
satu laki-laki pun di dunia ini, baik yang mulia maupun yang durjana, kecuali
Nabi Adam alaihis salam tentunya, melainkan ia berasal dari diri seorang
wanita. Karena itulah, wanita memiliki tanggung jawab yang berat, sebab
dari dirinyalah akan lahir laki-laki mulia yang akan memuliakan wanita.
Sungguh kerusakan peradaban laki-laki adalah karena makin banyaknya wanita
yang tidak dapat lagi memerankan dirinya sebagai ibu yang mulia. Saat
kehilangan fungsi mulianya itulah maka lahirlah laki-laki durjana. Dan saat
bertambahnya kerusakan dunia akibat perilaku laki-laki tidak mulia inilah, tiba-tiba
bermunculan para mufassir abad mutakhir. Seakan-akan mereka adalah pahlawan.
Meski pada kenyataannya mereka memang pahlawan, tapi pahlawan kesiangan.
Maka benarlah apa yang dikatakan oleh seorang penyair bernama Hafidz
Ibrahim saat ia bersenandung tentang pentingnya mempersiapkan wanita sebagai
ibu yang mulia bagi anak-anaknya:
"Al-ummu madrasatun idza a'dadtaha…a'dadta sya'ban thayyibal
a'raaqi"
Wanita laksana sekolah, jika anda mempersiapkannya sebagai sekolah maka sejatinya
anda telah mempersiapkan sebuah masyarakat yang baik perilakunya.
Jadi, bila kita berharap peradaban wanita tidak dilecehkan oleh
laki-laki durjana, maka kita harus memperbaiki dan mempersiapkan wanita agar
mampu menjadi ibu yang mulia. Saat itulah tidak akan ada lagi sangkaan aturan
diskriminatif dalam agama terhadap kaum wanita. Sebab masalah bukanlah pada
aturannya yang disangka salah, namun perilaku manusianyalah yang harus
diperbaiki.
Fairuz Ahmad.
Bintara, mengenang Dr. Syihab An Namir, 5 Jumadil Ula 1434 H./ 16 Maret
2013 M.
---------
Catatan :
[1] Dalam bahasa Arab, kata benda terbagi menjadi dua kategori jenis,
laki-laki yang disebut mudzakkar, contoh : qomar (bulan). Dan yang kedua,
wanita yang disebut mu'annats, contoh : syams (matahari). Bila kata qomar
dijamakkan maka ia berubah menjadi mu'annats.
[2] Hadits shahih menurut Bukhari dan Muslim namun mereka tidak
mengeluarkan dalam Shahihnya. Ada
di Al-Mustadrak Alas Shahihain Imam Al-Hakim Kitabun Nikah No.2817 dan Musnad
Imam Ahmad No.18913.
[3] Hadits lemah diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dari Abu Umamah
No.1857, namun banyak riwayat yang menjadi syawahid baginya. Lihat Hasyiyatus
Sindy Ala Ibni Majah, Ghidzau'l Albaab Ala
Syarhi Mandhumatil Aadaab Syeikh Muhammad bin Ahmad bin Salim As-Safariny dan
lain-lain tentang status hadits di atas.
[4] Shahih Bukhari Kitabul Adab Bab Man Ahaqqun Naas Bihusnis Shuhbah
No.5626.