Kamis, 05 Desember 2013

KHADIJAH OH KHADIJAH

Tahukah anda siapa Khadijah itu?

Ya, saya tahu. Beliau istri pertama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Seorang wanita pengusaha kaya raya. Seorang entrepreneur dan business woman handal.

Lalu jawaban selesai, alias mentok. Namun boleh jadi memang hanya sampai di situ pengetahuannya tentang Khadijah, atau memang sengaja hanya sampai di situ yang ia inginkan.

Akhirnya dalil-dalil itu menjadi dalih-dalih. Seorang muslimah harus seperti seorang Khadijah. Mandiri. Pengusaha. Entrepreneur. Business woman. Dan terakhir kaya raya.

Bukan tanpa sebab seorang wanita berpikir seperti itu. Juga bukan tanpa alasan ia berpendapat seperti itu. Tapi karena tuntutanlah ia bersikap seperti itu. Ya, karena tuntutan. Bisa jadi tuntutan ekonomi, dan ini yang paling banyak. Atau tuntutan gelar-gelar dan titel-titel yang telah menempel dan mengikuti belakang namanya kemana pun dan dimana pun ia berada. Atau tuntutan aktualisasi diri meski ia sebenarnya wanita yang sudah bisa mandiri.

Memang tidak ada yang patut disalahkan dengan wanita yang ingin meneladani Khadijah istri Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Karena menyalahkannya justru adalah kesalahan. Maka dari itulah wanita diperbolehkan menjadi seperti Khadijah. Berpenghasilan dari usahanya. Atau bisa jadi ia berpenghasilan dengan bekerja pada sebuah tempat kerja. Sebab berpenghasilan memang banyak kebaikannya.

Bila telah tertanam dalam jiwanya bahwa berpenghasilan itu banyak kebaikannya, maka ia pasti berusaha agar berpenghasilan. Dan bila sulit menjadi pengusaha mandiri seperti seorang Khadijah, maka minimal ia bekerja di sebuah tempat bekerja agar berpenghasilan. Dari sinilah maka banyak para muslimah berpegang pada dalil-dalil tentang kesuksesan Khadijah sebagai orang yang berpenghasilan. Namun sering kali dalil-dalil tersebut berubah menjadi dalih-dalih. Dalih muslimah harus bekerja, meski harus meninggalkan rumahnya dan meninggalkan anak-anaknya. Dan bisa jadi meninggalkan suaminya juga saat ia ada di rumah.

Sekali lagi tidak ada yang salah bila memang ada kebutuhan berpenghasilan bagi seorang muslimah. Dan memang mempertanyakan hal itu adalah percuma dan sia-sia saat memang penghasilan itu dibutuhkan. Sebab kebutuhan harus diatasi sendiri tatkala tidak ada pihak lain yang mengatasinya. Itulah realita. Tidak mungkin melarang muslimah berpenghasilan meski ia harus bekerja di luar rumah tatkala penghasilannya adalah untuk kebutuhan hidupnya.

Namun,,,,,,

Khadijah bukanlah seorang pengusaha saja. Bukanlah seorang yang kaya raya saja. Bukanlah seorang entrepreneur dan business woman saja.

Beliau juga terkenal sebagai istri shalehah bagi suaminya. Beliau seorang muslimah yang taat pada suaminya. Beliau memiliki akhlak terpuji yang melebihi istri-istri suaminya yang lain, hingga membuatnya selalu terkenang meski ia telah tiada. Beliau adalah seorang muslimah yang sukses sebagai pengusaha yang kaya raya dan juga sukses sebagai istri shalehah yang kaya raya.

Maka, sepatutnya saat seorang muslimah ingin meneladani Khadijah sang ibunda kaum muslimin, maka ia juga harus meneladani keshalehan perilaku dan akhlaknya. Tidak cukup hanya dikenal dan diketahui statusnya sebagai pengusaha saja. Namun yang lebih penting adalah statusnya sebagai istri shalehah bagi suaminya.

"Tidaklah seorang mukmin mendapat anugerah yang lebih baik setelah takwa kepada Allah kecuali berupa istri shalihah, bila suami menyuruhnya maka ia taat padanya, bila suami melihatnya maka ia menyenangkan hatinya, bila suami bersumpah agar istrinya bertindak sesuatu maka ia menurutinya, dan bila suami tidak ada di sampingnya maka ia menjaga dirinya dan harta suaminya."[1]

Apalah guna saat seorang muslimah berpenghasilan harta, namun di sisi lain ia tidak berpenghasilan pahala. Meski pada harta ada pahala, namun ia tak mungkin membeli semua pahalanya yang ada di dalam rumahnya sedang ia sibuk di luar sana. Bila tak ada masalah dengan kebutuhan hidupnya, maka selayaknya ia berusaha agar berpenghasilan dari dalam rumahnya seperti Khadijah. Bahkan tak harus ia selalu berpenghasilan harta saat di rumahnya. Ya, tidak harus selalu begitu.

Menjaga dan merawat anak-anaknya saat suaminya bekerja di luar rumah adalah bisnis juga. Sebab saat itulah ia dibutuhkan tenaganya, waktunya, dan pikirannya menjadi seorang pengusaha. Sejatinya ia sedang berbisnis dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala, meski ia di dalam rumahnya. Maka berbisnislah dengan Allah melalui anak-anakmu.

"Al-ummu madrasatun idza a'dadtaha…a'dadta sya'ban thayyibal a'raaqi"

Wanita laksana sekolah, jika anda mempersiapkannya sebagai sekolah maka sejatinya anda telah mempersiapkan sebuah masyarakat yang baik perilakunya.

Sudahkah anda sukses menjadi pengusaha muslimah di dalam dan di luar rumah?

Fairuz Ahmad.

Bintara, 6 Dzulqa'dah 1434 H./ 11 September 2013 M.

-------------
[1] Hadits lemah diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dari Abu Umamah No.1857, namun banyak riwayat yang menjadi syawahid baginya. Lihat Hasyiyatus Sindy Ala Ibni Majah. Lihat juga Ghidzau'l Albaab Ala Syarhi Mandhumatil Aadaab Syeikh Muhammad bin Ahmad bin Salim As-Safariny dan lain-lain tentang status hadits di atas.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar