Tidak ada perkara yang sangat menyedihkan
para Ulama selain melihat kebenaran agamanya yang tak kunjung diterima oleh
hati umatnya. Hampir saja seluruh masa usia mereka tak terjamah oleh hal-hal
yang sekedar menyenangkan jiwa. Tak hanya kemuliaan jasad mereka yang telah dihabiskan
demi kemuliaan agamanya. Namun seluruh bagian dari kehidupan mereka telah
dipersembahkan untuknya.
Kadang fisik tak lagi menampakkan pesona gagahnya sebab makan dan minum telah diniatkan menjadi kebiasaan yang langka. Waktu tak lagi memberinya kesempatan meski sekedar menikmati hidangan ala kadarnya. Usia telah dirasakan begitu singkat sebab mereka tak bisa lagi mengenali waktu bila sudah asyik menggoreskan pena-pena ilmunya. Demi melihat jiwa-jiwa penuh dahaga, maka pikiran pun terasa sempit bila tak segera ditumpahkan isinya dalam telaga. Bahkan banyak di antara mereka yang merelakan dirinya hidup tanpa kehadiran belahan jiwa.
Kadang fisik tak lagi menampakkan pesona gagahnya sebab makan dan minum telah diniatkan menjadi kebiasaan yang langka. Waktu tak lagi memberinya kesempatan meski sekedar menikmati hidangan ala kadarnya. Usia telah dirasakan begitu singkat sebab mereka tak bisa lagi mengenali waktu bila sudah asyik menggoreskan pena-pena ilmunya. Demi melihat jiwa-jiwa penuh dahaga, maka pikiran pun terasa sempit bila tak segera ditumpahkan isinya dalam telaga. Bahkan banyak di antara mereka yang merelakan dirinya hidup tanpa kehadiran belahan jiwa.
Semuanya demi menyampaikan kebenaran agar umat
dapat menemukan kemuliaan diri dan agamanya. Tujuan mereka hanya satu, agar
kebenaran Rabbnya bisa sampai pada hati umatnya.
Baginya, segala kelelahan terasa nikmat saat
mulai melihat hati-hati yang semula keras berubah selembut sutera. Watak-watak yang
semula kerdil karena terhalang dari cahaya matahari kini berkembang dengan
segala kesegarannya. Apalagi saat mereka mengetahui janji-janji Rabbnya akan
pahala yang nanti diterimanya di surga.[1]
Namun demikian, sekeras apa pun usaha mereka
dalam menyampaikan kebenaran agamanya, lantas tak serta-merta mampu membuka hati-hati
umatnya yang tertutup, bahkan sekedar mengetuk pun kadang tak sanggup. Sebab
ada di antara hati tersebut yang sudah terkunci rapat dan terbuat dari bahan
yang bahkan lebih keras dari sekedar batu. Sebagaimana gambaran Al-Qur'an
tentang sebagian manusia yang sudah sulit menerima kebenaran karena hatinya
telah membatu:
"Kemudian
setelah itu hati-hati kalian menjadi keras seperti batu, dan bahkan lebih keras
darinya."[2]
Bukankah
telah tercatat dalam sejarah, bahwa di antara manusia-manusia yang berhati batu
itu bahkan sampai lari menghindar dari sekedar mendengarkan lantunan Al-Qur'an?
Bahkan di antara mereka ada yang saling memperingatkan agar jangan sampai
mendekati sang Nabi bila tak ingin tersihir oleh Al-Qur'an, begitulah mereka
menyebutnya. Sungguh mereka telah menjadi takut dengan datangnya
hidayah, sehingga menganggap ayat Al-Qur'an adalah sihir yang akan menyesatkan.
Demi ketakutan yang luar biasa akan
datangnya hidayah, maka mereka berkata:
"Janganlah kamu mendengar dengan
sungguh-sungguh akan Al Qur'an ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya
kamu dapat mengalahkan mereka".[3]
Maka simaklah kisah Al-Walid bin Mughirah
saat ia terlihat linglung setelah mendengarkan ayat Al-Qur'an. Tak kuasa jiwanya
merasakan keindahan kata-katanya. Terasa lebih indah dari irama syair para
penyair, dan lebih kuat pengaruhnya dari sihir para penyihir. Sampai ia pun tak
sanggup menamakannya dengan sebuah nama.[4]
Sungguh para Ulama telah mengajarkan kepada
kita, bahwa rasa takut adalah bagian dari agama. Ia merupakan ibadah yang
membuktikan rasa cinta kita pada Sang Khaliq Azza wa Jalla. Sebab itulah ia
berpahala.
Bagaimana ia tidak berpahala? sedangkan ia
laksana cambukan Allah yang menuntun hamba-hamba-NYA agar mendekat kepada ilmu
dan amal, yang dengan keduanya itulah mereka dapat mendekatkan diri pada-NYA.
Ya, meraih kedekatan dangan Sang Khaliq haruslah dengan ilmu dan amal.[5]
Maka dari itu, tanda rasa takut yang
berpahala adalah timbulnya rasa sakit dan terbakarnya hati saat membayangkan
keburukan masa depan yang akan menimpa. Saat berfungsi dengan baik, Ia akan
mencegah diri dari perbuatan maksiat, lalu digantinya dengan ketaatan.[6]
Bila meraih ilmu dan amal adalah cerminan
rasa takut kepada Allah Azza wa Jalla, maka betapa kerdilnya saat kita
mendapati adanya percikan api kesombongan dalam hati. Ia seakan cahaya lentera
yang tak membutuhkan lagi akan cahaya purnama. Sudah merasa cukup dengan cahaya
kecil untuk menapaki panjangnya perjalanan. Bahkan ia menjadi takut dengan terangnya
purnama, bila ternyata sang purnama akan menyesatkannya.
Itulah sosok-sosok baru dari manusia-manusia
berwatak Walid bin Mughirah. Ia mengerti tentang keindahan hidayah namun ia
lebih suka menghindar darinya. Ia merasa lebih baik saat menjauh darinya,
bahkan hanya sekedar mendengarkan lantunannya. Sungguh ia telah takut
mendapatkan hidayah.
Inilah dia ketakutan yang seharusnya tak boleh
mengalir dalam diri seorang yang beriman. Karena sejatinya rasa takut adalah
saat ia memandang jauh masa depannya kelak, apa yang akan menimpanya tatkala ia
tak mau menerima kebenaran Ar-Rahman. Seperti rasa takut sang Nabi alaihis
shalatu wassalam saat melihat dirinya berdiri sebagai saksi bagi umatnya kelak di
hadapan Allah Azza wa Jalla.[7]
Saat itulah beliau menangis karena melihat di
antara umatnya kelak ada yang lari dari kebenaran, tak lagi peduli dengan ilmu
dan amal. Dan itulah yang dinamakan bukaa'ul khauf wal khasyah, tangisan yang
disebabkan perasaan takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.[8]
Bukankah di antara umatnya kelak ada yang
seperti gambaran Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firman-NYA:
"Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku,
sesungguhnya kaumku menjadikan Al Qur'an itu sesuatu yang tidak
diacuhkan". [9]
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan,
bahwa orang-orang kafir pada saat itu enggan menyimak dan mendengarkan
Al-Qur'an sebagaimana gambaran mereka di surat
Fushshilat ayat 26, "Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh
akan Al Qur'an ini..".
Saat dibacakan kepada mereka tentang ayat-ayat
Al-Qur'an, justru mereka menyibukkan diri dengan perkara-perkara yang lain agar
tidak mendengarnya. Inilah yang dinamakan Hujraanul Qur'an, yaitu meninggalkan
Al-Qur'an dimana masuk pula dalam maknanya adalah tidak mempelajarinya dan
tidak pula mengamalkannya, tidak mengimani dan membenarkannya, termasuk
berpaling kepada yang lain dalam hal penerapan syariat-syari'atnya. [10]
Memang amatlah berat bagi jiwa-jiwa kita yang
telah kehilangan kehangatan semangatnya untuk kembali kepada kebenaran Al-Qur'an.
Boleh jadi kita telah lama berada di tengah lautan kelalaian yang setiap saat
selalu menghempaskan kita dengan gulungan ombaknya yang maha besar menuju kegelapan
yang tak bertepi. Namun, jangan sampai
keadaan yang tidak baik itu senantiasa menyeret kita ke pusaran yang semakin
jauh dari kebenaran, apalagi harus berpaling darinya saat datang kebenaran itu
kepada kita. Karena sejatinya kebenaran adalah dari Allah maka kita tidak boleh
meragukannya.[11] Cukuplah bagi kita pelajaran dari kisah kedurhakaan Walid bin
Mughirah saat terpesona dengan bacaan Al-Qur'an namun ia memilih lari darinya.
Hendaknya kita membuka diri, mata dan hati
kita. Sungguh menjadi insan yang terbuka terhadap kebenaran akan mendatangkan
keberkahan dan kemuliaan. Sebaliknya, saat kita menutup diri dengan merasa
cukup dengan ilmu yang kita miliki, maka saat itulah kita telah membenamkan
jiwa kita pada pusaran kekerdilan.
Tak ada salahnya kita mendengarkan kebenaran
dari siapapun yang menyampaikannya, dan memang itu bukanlah sebuah kesalahan.
Sebab yang salah adalah saat kita merasa cukup dengan cahaya lilin yang kecil
di tengah gelapnya malam seraya berkata, kami takut tersesat bila harus
mengambil cahaya bulan. Bukankah Allah memuji orang-orang yang mendengarkan
perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya[12]. Mereka itulah
orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang
mempunyai akal.[13]
Imam Al-Qurthuby menjelaskan ayat ini dengan
menukil perkataan Abdur Rahman bin Zaid :
"Ayat 18 surat Az-Zumar
ini turun kepada Zaid bin Amr bin Nufail, Abu Dzar Al-Ghifary dan Salman
Al-Farisy saat mereka menjauhkan diri dari menyembah Thaghut di masa jahiliyah
mereka dan senantiasa mengikuti perkataan yang paling baik dalam sikap
mereka."[14]
Fairuz Ahmad.
Bintara, di siang hari jum'at yang penuh
berkah 11 Rabi'ul Akhir 1434 H. / 22 Februari 2013 M.
--------------
Catatan :
[1] Fushshilat : 30-35.
[2] Al-Baqarah : 74.
[3] Fushshilat : 26.
[4] Ar-Rahiqul Makhtum oleh Syeikh Shafiyyur
Rahman Al-Mubarakfury, Maktabah Darus Salam Riyadh Cet. 1414 H./ 1994 M.
[5] Tazkiyatun Nufus wa Tarbiyatuha kama yuqarriruha
Ulama As-Salaf, Imam Ibnu Rajab Al-Hambali, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dan Abu
Hamid Al-Ghazali. Darul Qalam Beirut.
[6] Tazkiyatun Nufus wa Tarbiyatuha kama
yuqrriruha Ulama As-Salaf, Imam Ibnu Rajab Al-hambali, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah
dan Abu Hamid Al-Ghazali. Darul Qalam Beirut.
[7]
- Hadits muttafaq alaihi dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu anhu.
- Riyadhus Shalihin Bab Fadhlil Buka' min Khasyatillah oleh Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawy Ad-Dimasyqi, Mu'assasah Ulumil Qur'an Beirut. Cet. 1410 H./ 1990 M.
- Zadul Ma'ad Fi Hadyi Khairil Ibaad Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah 1/183 Mu'assasah Ar-Risalah Beirut Cet. 1406 H./ 1986 M.
[8] Zadul Ma'ad Fi Hadyi Khairil Ibaad Imam
Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah 1/184 Mu'assasah Ar-Risalah Beirut Cet. 1406 H./ 1986 M.
[9] Al-Furqaan : 30.
[10] Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Furqaan ayat
30 3/386 , oleh Imam Isma'il bin Umar bin Katsir Al-Qurasyi Ad-Dimasyqi, Darul Fikr
Beirut Cet.
1412 H./ 1992 M.
[11] "Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu,
sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu."
(Al-Baqarah : 147).
[12] Maksudnya ialah mereka yang mendengarkan
ajaran- ajaran Al-Qur'an dan ajaran-ajaran yang lain, tetapi yang diikutinya
ialah ajaran-ajaran Al Quraan karena ia adalah yang paling baik.
[13] Az-Zumar : 18.
[14] Al-Jami' Li Ahkamil Qur'an Tafsir Surat
Az-Zumar ayat 18, Oleh Imam Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi, Darul
Fikr Beirut.