Kamis, 05 Desember 2013

Rasa Takut Yang Tak Lagi Berpahala

Tidak ada perkara yang sangat menyedihkan para Ulama selain melihat kebenaran agamanya yang tak kunjung diterima oleh hati umatnya. Hampir saja seluruh masa usia mereka tak terjamah oleh hal-hal yang sekedar menyenangkan jiwa. Tak hanya kemuliaan jasad mereka yang telah dihabiskan demi kemuliaan agamanya. Namun seluruh bagian dari kehidupan mereka telah dipersembahkan untuknya.
Kadang fisik tak lagi menampakkan pesona gagahnya sebab makan dan minum telah diniatkan menjadi kebiasaan yang langka. Waktu tak lagi memberinya kesempatan meski sekedar menikmati hidangan ala kadarnya. Usia telah dirasakan begitu singkat sebab mereka tak bisa lagi mengenali waktu bila sudah asyik menggoreskan pena-pena ilmunya. Demi melihat jiwa-jiwa penuh dahaga, maka pikiran pun terasa sempit bila tak segera ditumpahkan isinya dalam telaga. Bahkan banyak di antara mereka yang merelakan dirinya hidup tanpa kehadiran belahan jiwa.
Semuanya demi menyampaikan kebenaran agar umat dapat menemukan kemuliaan diri dan agamanya. Tujuan mereka hanya satu, agar kebenaran Rabbnya bisa sampai pada hati umatnya.
Baginya, segala kelelahan terasa nikmat saat mulai melihat hati-hati yang semula keras berubah selembut sutera. Watak-watak yang semula kerdil karena terhalang dari cahaya matahari kini berkembang dengan segala kesegarannya. Apalagi saat mereka mengetahui janji-janji Rabbnya akan pahala yang nanti diterimanya di surga.[1]
Namun demikian, sekeras apa pun usaha mereka dalam menyampaikan kebenaran agamanya, lantas tak serta-merta mampu membuka hati-hati umatnya yang tertutup, bahkan sekedar mengetuk pun kadang tak sanggup. Sebab ada di antara hati tersebut yang sudah terkunci rapat dan terbuat dari bahan yang bahkan lebih keras dari sekedar batu. Sebagaimana gambaran Al-Qur'an tentang sebagian manusia yang sudah sulit menerima kebenaran karena hatinya telah membatu:
"Kemudian setelah itu hati-hati kalian menjadi keras seperti batu, dan bahkan lebih keras darinya."[2]
Bukankah telah tercatat dalam sejarah, bahwa di antara manusia-manusia yang berhati batu itu bahkan sampai lari menghindar dari sekedar mendengarkan lantunan Al-Qur'an? Bahkan di antara mereka ada yang saling memperingatkan agar jangan sampai mendekati sang Nabi bila tak ingin tersihir oleh Al-Qur'an, begitulah mereka menyebutnya. Sungguh mereka telah menjadi takut dengan datangnya hidayah, sehingga menganggap ayat Al-Qur'an adalah sihir yang akan menyesatkan. Demi ketakutan yang luar biasa akan datangnya hidayah, maka mereka berkata:
"Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al Qur'an ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan mereka".[3]
Maka simaklah kisah Al-Walid bin Mughirah saat ia terlihat linglung setelah mendengarkan ayat Al-Qur'an. Tak kuasa jiwanya merasakan keindahan kata-katanya. Terasa lebih indah dari irama syair para penyair, dan lebih kuat pengaruhnya dari sihir para penyihir. Sampai ia pun tak sanggup menamakannya dengan sebuah nama.[4]
Sungguh para Ulama telah mengajarkan kepada kita, bahwa rasa takut adalah bagian dari agama. Ia merupakan ibadah yang membuktikan rasa cinta kita pada Sang Khaliq Azza wa Jalla. Sebab itulah ia berpahala.
Bagaimana ia tidak berpahala? sedangkan ia laksana cambukan Allah yang menuntun hamba-hamba-NYA agar mendekat kepada ilmu dan amal, yang dengan keduanya itulah mereka dapat mendekatkan diri pada-NYA. Ya, meraih kedekatan dangan Sang Khaliq haruslah dengan ilmu dan amal.[5]
Maka dari itu, tanda rasa takut yang berpahala adalah timbulnya rasa sakit dan terbakarnya hati saat membayangkan keburukan masa depan yang akan menimpa. Saat berfungsi dengan baik, Ia akan mencegah diri dari perbuatan maksiat, lalu digantinya dengan ketaatan.[6]
Bila meraih ilmu dan amal adalah cerminan rasa takut kepada Allah Azza wa Jalla, maka betapa kerdilnya saat kita mendapati adanya percikan api kesombongan dalam hati. Ia seakan cahaya lentera yang tak membutuhkan lagi akan cahaya purnama. Sudah merasa cukup dengan cahaya kecil untuk menapaki panjangnya perjalanan. Bahkan ia menjadi takut dengan terangnya purnama, bila ternyata sang purnama akan menyesatkannya.
Itulah sosok-sosok baru dari manusia-manusia berwatak Walid bin Mughirah. Ia mengerti tentang keindahan hidayah namun ia lebih suka menghindar darinya. Ia merasa lebih baik saat menjauh darinya, bahkan hanya sekedar mendengarkan lantunannya. Sungguh ia telah takut mendapatkan hidayah.
Inilah dia ketakutan yang seharusnya tak boleh mengalir dalam diri seorang yang beriman. Karena sejatinya rasa takut adalah saat ia memandang jauh masa depannya kelak, apa yang akan menimpanya tatkala ia tak mau menerima kebenaran Ar-Rahman. Seperti rasa takut sang Nabi alaihis shalatu wassalam saat melihat dirinya berdiri sebagai saksi bagi umatnya kelak di hadapan Allah Azza wa Jalla.[7]
Saat itulah beliau menangis karena melihat di antara umatnya kelak ada yang lari dari kebenaran, tak lagi peduli dengan ilmu dan amal. Dan itulah yang dinamakan bukaa'ul khauf wal khasyah, tangisan yang disebabkan perasaan takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.[8]
Bukankah di antara umatnya kelak ada yang seperti gambaran Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firman-NYA:
"Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Qur'an itu sesuatu yang tidak diacuhkan". [9]
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, bahwa orang-orang kafir pada saat itu enggan menyimak dan mendengarkan Al-Qur'an sebagaimana gambaran mereka di surat Fushshilat ayat 26, "Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al Qur'an ini..".
Saat dibacakan kepada mereka tentang ayat-ayat Al-Qur'an, justru mereka menyibukkan diri dengan perkara-perkara yang lain agar tidak mendengarnya. Inilah yang dinamakan Hujraanul Qur'an, yaitu meninggalkan Al-Qur'an dimana masuk pula dalam maknanya adalah tidak mempelajarinya dan tidak pula mengamalkannya, tidak mengimani dan membenarkannya, termasuk berpaling kepada yang lain dalam hal penerapan syariat-syari'atnya. [10]
Memang amatlah berat bagi jiwa-jiwa kita yang telah kehilangan kehangatan semangatnya untuk kembali kepada kebenaran Al-Qur'an. Boleh jadi kita telah lama berada di tengah lautan kelalaian yang setiap saat selalu menghempaskan kita dengan gulungan ombaknya yang maha besar menuju kegelapan yang tak bertepi.  Namun, jangan sampai keadaan yang tidak baik itu senantiasa menyeret kita ke pusaran yang semakin jauh dari kebenaran, apalagi harus berpaling darinya saat datang kebenaran itu kepada kita. Karena sejatinya kebenaran adalah dari Allah maka kita tidak boleh meragukannya.[11] Cukuplah bagi kita pelajaran dari kisah kedurhakaan Walid bin Mughirah saat terpesona dengan bacaan Al-Qur'an namun ia memilih lari darinya.
Hendaknya kita membuka diri, mata dan hati kita. Sungguh menjadi insan yang terbuka terhadap kebenaran akan mendatangkan keberkahan dan kemuliaan. Sebaliknya, saat kita menutup diri dengan merasa cukup dengan ilmu yang kita miliki, maka saat itulah kita telah membenamkan jiwa kita pada pusaran kekerdilan.
Tak ada salahnya kita mendengarkan kebenaran dari siapapun yang menyampaikannya, dan memang itu bukanlah sebuah kesalahan. Sebab yang salah adalah saat kita merasa cukup dengan cahaya lilin yang kecil di tengah gelapnya malam seraya berkata, kami takut tersesat bila harus mengambil cahaya bulan. Bukankah Allah memuji orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya[12]. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.[13]
Imam Al-Qurthuby menjelaskan ayat ini dengan menukil perkataan Abdur Rahman bin Zaid :
"Ayat 18 surat Az-Zumar ini turun kepada Zaid bin Amr bin Nufail, Abu Dzar Al-Ghifary dan Salman Al-Farisy saat mereka menjauhkan diri dari menyembah Thaghut di masa jahiliyah mereka dan senantiasa mengikuti perkataan yang paling baik dalam sikap mereka."[14]
Fairuz Ahmad.
Bintara, di siang hari jum'at yang penuh berkah 11 Rabi'ul Akhir 1434 H. / 22 Februari 2013 M.
--------------
Catatan :
[1] Fushshilat : 30-35.
[2] Al-Baqarah : 74.
[3] Fushshilat : 26.
[4] Ar-Rahiqul Makhtum oleh Syeikh Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfury, Maktabah Darus Salam Riyadh Cet. 1414 H./ 1994 M.
[5] Tazkiyatun Nufus wa Tarbiyatuha kama yuqarriruha Ulama As-Salaf, Imam Ibnu Rajab Al-Hambali, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dan Abu Hamid Al-Ghazali. Darul Qalam Beirut.
[6] Tazkiyatun Nufus wa Tarbiyatuha kama yuqrriruha Ulama As-Salaf, Imam Ibnu Rajab Al-hambali, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dan Abu Hamid Al-Ghazali. Darul Qalam Beirut.
[7]
  • Hadits muttafaq alaihi dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu anhu.
  • Riyadhus Shalihin Bab Fadhlil Buka' min Khasyatillah oleh Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawy Ad-Dimasyqi, Mu'assasah Ulumil Qur'an Beirut. Cet. 1410 H./ 1990 M.
  • Zadul Ma'ad Fi Hadyi Khairil Ibaad Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah 1/183 Mu'assasah Ar-Risalah Beirut Cet. 1406 H./ 1986 M.
[8] Zadul Ma'ad Fi Hadyi Khairil Ibaad Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah 1/184 Mu'assasah Ar-Risalah Beirut Cet. 1406 H./ 1986 M.
[9] Al-Furqaan : 30.
[10] Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Furqaan ayat 30 3/386 , oleh Imam Isma'il bin Umar bin Katsir Al-Qurasyi Ad-Dimasyqi, Darul Fikr Beirut Cet. 1412 H./ 1992 M.
[11] "Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu." (Al-Baqarah : 147).
[12] Maksudnya ialah mereka yang mendengarkan ajaran- ajaran Al-Qur'an dan ajaran-ajaran yang lain, tetapi yang diikutinya ialah ajaran-ajaran Al Quraan karena ia adalah yang paling baik.
[13] Az-Zumar : 18.
[14] Al-Jami' Li Ahkamil Qur'an Tafsir Surat Az-Zumar ayat 18, Oleh Imam Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi, Darul Fikr Beirut.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar